Hukum Pembuatan Patung Garuda Pancasila

Hukum Pembuatan Patung Garuda Pancasila

Oleh: Ali Irham*

Sejarah Lambang Garuda Pancasila

Lambang Garuda Pancasila pertama kali diatur penggunaannya dalam Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1958, dan diubah dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 untuk melaksanakan Pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945.

Menurut sejarah, perancang lambang negara tersebut adalah Sultan Hamid II, AG Pringgodigdo dalam bukunya Sekitar Pancasila terbitan Dephankam. Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari 1950.

Ketika itu, gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih ‘gundul’ dan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.

Pada tanggal 20 Maret 1950 Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, supaya melukis kembali rancangan tersebut; setelah sebelumnya diperbaiki antara lain penambahan ‘jambul’ pada kepala Garuda Pancasila, serta mengubah posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semula di belakang pita, menjadi di depan pita atas masukan sang Presiden. Dipercaya bahwa alasan Soekarno menambahkan jambul karena kepala garuda gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle, Lambang Amerika Serikat.

Secara fisik, bentuk dari patung garuda merupakan gambaran burung garuda dalam cerita pewayangan Mahabarata.

Hukum Pembuatan Patung

Dengan bentuknya yang merupakan seni rupa tiga dimensi, masih banyak yang mempertanyakan perihal hukum pembuatan patung garuda.

Diriwayatkan dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. melarang pembuatan patung. Beliau mengatakan

عن عَائِشَةَ، دَخَلَ عَلَّى النَّبِى عليه السلام وَفِى الْبَيْتِ قِرَامٌ فِيهِ صُوَرٌ، فَتَلَوَّنَ وَجْهُهُ، ثُمَّ تَنَاوَلَ السِّتْرَ فَهَتَكَهُ، وَقَالَتْ: قَالَ رسول اللَّه (صلى الله عليه وسلم) : (إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُصَوِّرُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ)

“Dari Aisyah, ‘Rasulullah saw. mendatangiku dan di dalam rumah terdapat gorden yang bergambar. Kemudian berubah raut wajah Rasulullah, lalu beliau menarik gorden dan menghempaskannya.’ Aisyah berkata, ‘Rasulullah bersabda: ‘Sungguh termasuk orang yang paling pedih siksanya di hari kiamat adalah mereka yang menggambar gambar ini.'” (HR. Bukhari)

Sehingga dari hadis tersebut para ulama merumuskan bahwa haram hukumnya membuat seni rupa baik dua dimensi (lukisan) ataupun tiga dimensi (patung). Sebagaimana haram hukumnya membuat seni rupa tersebut, begitu juga haram hukumnya menyimpan dan memasangnya di tempat yang dimuliakan seperti di dinding.

Keharaman tersebut memiliki beberapa alasan. Di antaranya adalah menandingi ciptaan Allah Swt. Selain itu, lukisan maupun patung sangat rawan untuk dijadikan media menyekutukan Allah Swt.

Keharaman Pembuatan Patung

Akan tetapi perlu diketahui bahwa keharaman pembuatan seni rupa tersebut tidaklah mutlak, namun memiliki beberapa ketentuan sebagai berikut.

  1. Patung atau gambar yang menggambarkan bentuk benda yang memiliki ruh seperti manusia dan hewan, sehingga apabila berupa patung ataupun gambar tumbuhan maka tidak haram.
  2. Berupa patung atau gambar yang sempurna. Andai benda tersebut memiliki ruh maka niscaya akan hidup, sehingga patung dan gambar yang berupa kepala saja tidaklah haram.
  3. Diletakkan di tempat yang dimuliakan atau diletakkan di dinding. Sehingga gambar yang dijadikan alas tidaklah haram.

Selain itu, ulama juga mengecualikkan boneka atau mainan yang berbentuk benda yang bernyawa seperti boneka anak kecil. Legalitas pembuatan boneka tersebut didasari kebutuhan berupa mendidik anak kecil khususnya perempuan supaya tertanam sifat kasih sayang. Sehingga sangat diharapkan anak tersebut kelak memiliki sifat kasih sayang yang besar kepada anaknya yang menjadi modal utama membesarkan dan mendidik anak.

Hukum Patung Menurut Al-Jaziri

Abdurrahman al-Jaziri dalam Fiqh al-Madzahib al-Arba’ah menguraikan perincian hukum pembuatan seni rupa sebagaimana berikut.

وذلك لأن الصورة إما أن تكون صورة لغير حيوان كشمس وقمر وشجر ومسجد، أو تكون صورة حيوان عاقل أو غير عاقل والقسم الأول جائز لا كلام فيه.

“Demikian itu dikarenakan seni rupa adakalanya menggambarkan bentuk selain hewan seperti matahari, bulan, tanaman dan masjid. Adakalanya menggambarkan hewan yang berakal ataupun tidak berakal. Yang pertama diperbolehkan dan tidak perlu dipermasalahkan.”

وأما القسم الثاني فإن فيه تفصيل المذاهب على أن المحرم منه إنما حرم في نظر الشارع إذا كان لغرض فاسد كالتماثيل التي تصنع لتعبد من دون الله. فإن فاعل هذا له أسوأ الجزاء.

“Adapun yang kedua, ada perincian hukum dari beberapa madzhab. Bahwa yang diharamkan, menurut pandangan syariat, jika bertujuan tidak benar. Seperti, seni rupa yang dibuat dengan tujuan untuk disembah, sungguh orang yang melakukan tindakan tersebut baginya berhak mendapat balasan yang sangat buruk.”

وكذلك إذا ترتب عليها تشبه بالتماثيل أو تذكر لشهوات فاسدة، فإنها في هذه الحالة تكون كبيرة من الكبائر، فلا يحل عملها ولا بقاءها ولا التفرج عليها.

“Begitu pula jika dari hasil seni rupa yang dibuat menimbulkan keserupaan terhadap patung-patung atau dapat mengingatkan syahwat yang buruk. Seni rupa dengan model demikian termasuk dosa besar, tidak halal pembuatannya, membiarkannya serta mendukung atas tindakannya.”

Haram, Namun Tidak Mutlak

أما إذا كانت لغرض صحيح كتعلم وتعليم فإنها تكون مباحة لا إثم فيها، ولهذا استثنى بعض المذاهب لعب البنات «العرائس» الصغيرة الدمى، فإن صنعها جائز، وكذلك بيعها وشراؤها. لأن الغرض من ذلك إنما هو تدريب البنات الصغار على تربية الأولاد، وهذا الغرض كاف في إباحتها.

“Adapun ketika tujuan dari pembuatan seni rupa merupakan tujuan yang benar seperti untuk kegiatan belajar mengajar, maka hal itu mubah dan tidak dosa. Maka dari itu, sebagian madzhab fiqh mengecualikan boneka mainan anak perempuan yang dikenal dengan ara’is, sehingga pembuatannya legal, begitu pula memperjualbelikannya. Karena tujuan dari pembuatannya adalah mendidik anak perempuan untuk mendidik anak.”

وكذلك إذا كانت الصورة مرسومة على ثوب مفروش أو بساط أو مخدة فإنها جائزة، لأنها في هذه الحالة تكون ممتهنة فتكون بعيدة الشبه بالأصنام،

“Dari tujuan ini cukup untuk melegalkan pembuatan seni rupa. Begitu pula jika seni rupa yang dibuat di selembar kain yang diletakkan di bawah, dijadikan alas atau dijadikan bantal. Karena dalam keadaan demikian tidak ada potensi dimuliakan. Sehingga sangat jauh keserupaannya dengan berhala.”

وبالجملة فإن غرض الشريعة الإسلامية إنما هو القضاء على الوثنية ومحوآثارها من جميع الجهات، فكل ما يدني منها أو يثير ذكراها فهومحرم، وما عدا ذلك فهوجائز يرشدك إلى ذلك ما ذكرناه لك في أسفل الصحيفة من تفاصيل المذاهب

“Terlepas dari rincian yang disebutkan, tujuan syariat islam adalah memberanguskan praktik kemusrikan dari segala sisi. Sehingga segala hal yang dapat membangkitkan keasyirikan maka hukumnya haram, selain itu maka legal. Kesimpulan tersebut akan kamu dapat dari apa yang aku sebutkan dibagian bawah lembaran setiap halaman dari perincian setiap madzhab mengenai seni rupa.”

Kesimpulan

Dengan memahami kesimpulan hukum pembuatan seni rupa maka dapat disimpulkan bahwa pembuatan patung garuda adalah mubah. Dengan pertimbangan bahwa pembuatan patung tersebut didasari hajat berupa butuhnya negara terhadap lambang negara. Lambang ini menunjukkan identitas bangsa demi untuk mempersatukan seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” berbeda-beda tetapi tetap satu jua yang diikutsertakan dalam Garuda Pancasila, semakin mempertegas bahwa tujuan dari pembuatan patung garuda tidak lain adalah untuk mempersatukan seluruh lapisan masyarakat Indonesia sehingga tidak mudah dipecah belah.

Sekian, semoga bermanfaat. Wa allahu a’lam bi as-shawab.

*Anggota Media Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri.

Dimuat ulang dari tulisan asli di lirboyo.net dengan perubahan seperlunya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *