Ada beberapa pintu yang harus dilalui sebagai sikap terhadap media sosial. Kehidupan seorang santri dalam dunia digital harus melalui penyaringan di setiap pintu ini.
Semakin jauh memasuki pintu-pintu itu, niat dan prilaku santri di dalam dunia digital semakin jernih dan murni.
Tulisan ini adalah sebuah kesimpulan dan penceritaan ulang dari apa yang telah disampaikan Gus Ahmad dalam Talkshow Media Pondok Jawa Timur. Talkshow ini mengusung tema “Taktik Ideal Pesantren Kuasai Dunia Digital”.
Talkshow ini adalah salah satu rangkaian acara MPJ Fest 2023 yang berlangsung di Pondok Pesantren Al-Fattah Kikil Pacitan.
Pertama: Asal Bukan Maksiat
Media sosial adalah sesuatu yang mubtadi, sebuah hal baru. Ia bagai dua mata pisau. Kalian bisa mengarahkannya sebagai hal yang baik, atau bahkan buruk.
Lalu bagaimana menyikapinya?
Dawuh Sayyidina Ali,
مُوَافَقَةُ النَّاسِ فِيْ كُلِّ شَئٍْ مَا عَدَا الْمَعَاصِي
Boleh kita mengikuti zaman, menggunakan media sosial, dan apapun itu, selama tidak ada unsur maksiat di dalamnya.
Maka jangan sampai pengelolaan media pesantren kita berdampak pada hal negatif, bahkan provokatif.
Kedua: Harus Bermanfaat
Ketika selesai belajar, seorang santri harus ngedep dampar. Harus memberikan manfaat bagi orang lain.
Di dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 122 disebutkan
وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Tugas santri setelah pulang ke rumah adalah untuk berdakwah kepada masyarakat.
Pintu ketiga: Harus Menjadi Ladang Dakwah
Dakwah itu amanah. Ilmu dari kiai itu amanah. Ketika amanah tidak disampaikan kepada pihak yang bersangkutan, maka ditakutkan akan masuk pada predikat khianat. Naudzubillah.
Ladang dakwah santri itu berbeda-beda. Ada yang memang spesifikasinya kiai. Sehingga sepulangnya ke rumah, ia berdakwah ke mana-mana. Merawat santri.
Tapi tidak mungkin semua santri jadi kiai. Ada yang diberi karunia bisa mengelola media.
Kita berdakwah dengan terjun di media, kita niatkan untuk ngestoaken dawuh masyayikh. Karena pasti para masyayikh dalam mengaji selalu memberi pesan untuk menyebarkan ilmu yang didapat.
Jangan niatkan yang lain. Niatkanlah untuk ngestoaken dawuh masyayikh. Menunaikan apa yang telah diperintahkan oleh masyayikh.
Pintu Keempat: Penyakit Hati dalam Berdakwah
Ada beberapa penyakit hati yang sering diderita oleh para kreator konten.
Hubbus Syuhra
Salah satu penyakit para kreator konten digital, adalah keinginan pribadinya agar konten yang dibuatnya bisa viral di khalayak umum.
“Kira-kira posting ini banyak likenya ndak, ya?”
Ini sebuah kesalahan. Mereka berbuat baik, tapi takut tidak dipuji oleh orang lain.
Padahal dalam konteks tasawuf, kita hubbus syuhro, pengen viral, pengen banyak likenya, itu termasuk min jumlatir riya’, termasuk dalam prilaku riya’.
Kita di pesantren selalu diajarkan untuk melakukan sesuatu tanpa pamrih. Jangan nunggu pujian untuk berbuat baik.
K.H. Husein Muhammad pernah dawuh,
“Sebarkan kebaikan dan kemanfaatan kepada manusia sebanyak mungkin, karena kita tidak tahu mana yang akan diambil oleh orang lain, mana manfaat yang akan menyelamatkan kita menuju surganya Allah Swt.”
Jadi, jangan berfikir mana yang nanti akan dilike banyak orang. karena dari semua konten kalian pasti ada peminatnya masing-masing.
Kecil Hati
Kebiasaan santri itu minder dulu. Ceramahku bagus, ndak ya. Jangan.
Jangan pernah minder, kecil hati dan takut untuk berdakwah.
Karena begini.
Standar orang yang menjadi pemimpin menurut para ulama adalah orang yang hatinya sudah dekat dengan Allah.
Dalam hal ini, dalam berdakwah di masyarakat, yang paling pantas adalah santri. Karena santri adalah sosok yang selalu berusaha mendekat kepada Allah Swt.
Kredibilitas urusan akhirat ya santri. Siapa lagi?
Kalau santri tidak mau terjun dalam urusan akhirat, lalu siapa yang akan mengisi?
“Minimal-maksimal” dalam Berdakwah
Kalau kalian belum bisa menjadi orang yang memberi manfaat, minimal ambillah manfaat. Kutip maqalah-maqalah para masyayikh untuk disebarkan.
Salah satu etika dalam mengutip keilmuan, jika kita lupa persis kalimatnya, jangan langsung dinisbatkan kepada kiainya. Beri keterangan, “Disarikan dari dawuh kiai ketika momen ini.”
Jangan lalu mengubah kalimatnya agar aesthetic, quotable, lalu disandarkan kepada kiai.
Semisal, kiai dawuh begini, trus kalian ubah menjadi “Kita perlu jatuh untuk melangkah lebih jauh.” Lalu kalian tulis: dawuh K.H. …
Jangan seperti itu. Itu sama saja seperti memalsukan hadis.
Agar Hati Konsisten Berkhidmah di Media
Syarat agar konsisten dalam mencari ilmu, berkhidmah, ada dua: al-jiddu, rekoso, bersusah payah; dan himmatul aliyah, cita-cita yang tinggi.
Semakin kita rekoso dalam mencari ilmu, akan semakin kokoh ilmu yang kita dapatkan. Rekoso itu maharnya ilmu.
Penutup
وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا
Hamba-hamba Tuhan yang bersifat Rahman adalah mereka yang berjalan di muka bumi dengan keadaan tenang.
Maka dalam menghadapi persoalan, jangan terburu-buru. Jangan grusa-grusu.
Jalan. Jangan berlari.
Karena hidup itu perjalanan, bukan pelarian.
(Agus H. Ahmad Kafabihi, dzuriyah Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri.)