“Cuk!”
Begitulah cara ia menyapa teman-temannya di rumah.
Ungkapan-ungkapan seperti, “Hai”, “Halo”, atau ungkapan-ungkapan yang lain rasa-rasanya kurang relevan dan dinilai membosankan. Bagi manusia keren yang satu ini, “misuh” bukan lagi menjadi semacam perkataan kasar yang terlontar dengan alasan kebencian dan dendam, tapi lebih menjurus ke arah metode pendekatan terbaik yang sudah sepatutnya mereka tularkan pada teman-temannya yang lain hingga menjadi suatu “budaya”.
Maklum, rumahnya Jombang.
***
Pernah suatu hari ia dijelaskan oleh gurunya seperti ini, “Budaya adalah sebuah ciri atau identititas dari sekumpulan orang yang mendiami wilayah tertentu. Budaya ini timbul dari perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat secara berulang – ulang sehingga membentuk suatu kebiasaan yang pada akhirnya menjadi sebuah budaya dari masyrakat itu sendiri. Budaya yang telah terbentuk itu akan masuk dan mengakar di dalam kehidupan manusia, sehingga tanpa kita sadari budaya ini telah mempengaruhi kehidupan manusia.”
Ia percaya saja pada kata-kata ini—awalnya. Hingga pada akhirnya ia dipondokkan oleh orang tuanya. Dan lambat laun, ia juga mulai mengenal bahwa “budaya” yang ia kenal di rumah selama ini, berbanding lurus dengan apa yang ia alami di pondok pesantren. Tapi dengan paradigma itu tidak menutup kemungkinan bahwa selamanya ia akan tetap menjadi dirinya sendiri. Kalau toh memang ada perubahan, itu tak lain adalah caranya menghargai statusnya yang kini sudah berubah menjadi “santri”.
Karena tidak bisa dimungkiri memang, bahwasanya niat awal orang tuanya membawanya ke pondok pesantren selain mencari ilmu juga untuk membentuk karakter yang ada pada dirinya. Yang awalnya keras, berubah menjadi tegas. Dan itu benar-benar ia rasakan sekali.
***
Malam itu ada tawaran dari teman-temannya agar ia ikutan ngopi bareng di kamar sebelah. Karena ia sudah memesan sendiri kopinya, maka tanpa memiliki rasa malu sedikit pun ia bawa dengan penuh percaya diri secangkir kopi yang sedari tadi menemaninya di kamar, dan membawanya ke kamar sebelah untuk join ngopi bareng santri-santri lain.
Ketika melintasi beberapa santri asing tak dikenal yang sedang ngopi, dengan santun ia menunduk dan mengucapkan, “Monggo, Cuk!”