Sebelumnya saya masih ragu untuk berangkat memenuhi khidmat di event Multaqo Media Pondok Jatim (MPJ) pada 22-24 Desember 2023 kemarin di Pondok Al-Fattah Kikil dan Pondok Tremas Pacitan. Karena jarak yang begitu jauh Jakarta-Pacitan, juga perlu mengurus perizinan belum lagi estimasi biaya yang tidak sedikit.
Namun disaat kebimbangan melanda, saya teringat kisah perjalanan Komite Hijaz, Kala KH Wahab Hasbullah dan Syekh Ghonaim Al-Misri melakoni rihlah beratus-ratus hari dan beribu-ribu kilo dari Surabaya menuju Makkah. Belum lagi beliau berdua tidak berkenan perjalanannya di biayai NU, walhasil memakai biaya sendiri.
Tak pelak Yai Wahab dan Syekh Ghonaim menjadi ujung tombak dan ujung tombok bagi NU dan beberapa organisasi islam lain yang kala itu bersatu menyokong Komite Hijaz ini dengan misi menuntut pembatalan pembongkaran Makam Nabi, kebebasan bermadzhab dan beberapa masalah keagamaan lainnya.
Teringat kisah diatas, saya merasa ‘malu’ sama beliau berdua, yang ternyata telah berjuang dan berkorban lebih dulu dengan beban dan hitung-hitungan lebih besar. Bila diambil logika, Yai Wahab sebenarnya tidak perlu repot-repot sampai ke Makkah demi menyampaikan sebuah misi Aswaja. Beliau cukup duduk manis ngaji sama santri-santrinya pun tak jadi masalah, tapi namanya pejuang tetaplah pejuang.
Walhasil berkat Komite Hijaz, NU dikenal dimana-mana tumbuh dan diunduh dipenjuru dunia sampai sekarang. NU berhasil menjadi motor pergerakan Islam. Bayangkan kalau Yai Wahab gamau repot-repot dan gamau tombok, belum tentu NU bisa sebesar sekarang. Padahal waktu itu Mbah Wahab juga punya kesibukan mengurus pesantren
Hal itulah yang menginspirasi saya untuk bertekad berangkat ke Pacitan, menjalin jaringan dengan Insan Media Se Pondok Jatim, berorganisasi dan bertukar pemikiran. Jakarta-Pacitan tak seberapa dengan Surabaya-Makkah. Kesibukan saya disini juga tak sebanding dengan kesibukan beliau. Meskipun MPJ saat ini belum begitu mengaung namanya, tapi suatu saat, saya yakin berkat kokohnya sistem organisasinya MPJ bakal mendunia.
Dari seluruh pojok pondok di Jatim, Insan MPJ ini berangkat dengan tekad yang sama, yaitu untuk memajukkan Media Pondok dan bersilaturahmi serta menghujani media sosial dengan konten-konten yang positif. Sedangkan dari Nasib, anggota MPJ yang menjadi delegasi dari pondok ini ada yang medianya sudah lama eksis, ada yang baru merintis, ada yang nafasnya sedang kembang kempis. Kemudian mereka kompak berorganisasi, berkolaborasi, bersilaturahmi, seolah mengamalkan apa yang dikaji di Pesantren,
الْحَقُّ بِلَا نِظَامٍ يَغْلِبُهُ الْبَاطِلُ بِالنِّظَامِ
“Kebenaran yang tidak terorganisir, akan kalah dengan kebathilan yang terorganisir”.
Berdasarkan observasi pribadi, saya menemukan anggota MPJ ini berangkat dengan biaya sendiri, alias tombok mirip seperti yang dilakoni Yai Wahab, jadi perihal militansi Insan MPJ tidak perlu dipertanyakan. Bahkan ada yang jauh-jauh datang dari lampung teman saya, benar-benar datang untuk menjalin silaturahmi padahal dia tahu kalau di MPJ ini tidak ada imbalan materi, dan ini kedatangan kedua kali setelah pada 2022 juga datang waktu di Pacet Mojokerto.
Maka perlu diingat, sebagai organisasi yang masih berorientasi aswaja, bicara kita itu bukan apa yang kita dapatkan di MPJ melainkan apa yang bisa kita beri kepada MPJ. MPJ ibarat ladang luas bagi insan media pesantren untuk menebar tunas-tunas khidmah, meskipun pada awalnya terjatuh, yakinlah kelak akan tumbuh dan pada akhirnya dapat diunduh.
Maka, Media Pondok yang merasa perlu banyak ilmu silaklan bergabung, dan media Pondok yang merasa sudah mapan jangan merasa nyaman bergabunglah sebelum ketinggalan pergaulan.
BTW Jalan 3 Tahun, organisasi yang bermula dari 7 Pesantren, sekarang sudah beratus-ratus anggotanya. Begitulah Jawa Timur, selalu Makmur apabila berkaitan dengan agama, (walau pada akhirnya ada yang tergusur).