Jeding Kobok | Cerpen

Jeding Kobok | Cerpen

Aku masih ingat betul ketika awal-awal mondok dulu. Tepat ketika masuk area pondok pesantren, kedua mataku fokus menatap kolam kecil berukuran 3X4 meter. Anehnya, kolam kecil tersebut selalu dilewati oleh para santri ketika selesai dari kamar mandi atau dilewati secara masal oleh santri yang baru keluar dari pondok pesantren tanpa menggunakan alas kaki, hingga menyebabkan kedua kaki dari bawah sampai mata kaki mereka basah.

Di pikirannku, ‘kalau tujuan adanya kolam itu untuk membersihkan kaki, kenapa tidak menggunakan air kran saja? Bukankah itu lebih efisien dan masuk akal? Atau kenapa tidak ke kamar mandi saja? Bukankah akan lebih bersih kalau mereka membasuh kedua kaki mereka dengan air daripada hanya “menjeburkan” saja?’

Awalnya aku sendiri janggal, padahal mereka sudah mencuci kaki dengan bersih di kamar mandi, tapi tetap saja menjeburkan kedua kaki mereka pada kolam yang ada. Dan kalau dilihat-lihat, bagi para santri yang baru keluar dari pondok pesantren, jika mereka tidak mengenakan alas kaki, mustahil mereka bisa masuk ke pondok pesantren tanpa menjeburkan kedua kaki mereka di sana.

Satu minggu. Dua minggu. Tiga minggu. Satu bulan. Dua bulan.

Semakin lama hidup di pondok pesantren, keingintahuanku tentang kolam itu semakin memuncak. Bahkan karena saking gregetnya, aku pernah bertanya pada beberapa santri baru yang aku kenal. Beberapa dari mereka menjawab bahwa mereka terpaksa melakukannya karena dirasa menguntungkan, sebab mereka tidak perlu membuang-buang waktu untuk mencuci kaki mereka di kamar mandi atau mengantri air kran. Untuk santri yang satu ini, jawabannya idealis sekali, tapi aku suka.

Beberapa santri lain menjawab bahwa ia pernah mencoloti kolam itu. Meski berhasil, namun ia harus masuk rumah sakit karena kakinya keseleo hingga mengalami patah tulang. Saat bercerita padaku, ia bahkan mengibaskan sarung yang ia pakai dan menunjukkan padaku bekas jahitan di pahanya itu. Kasihan sekali. Tapi anehnya, aku tertawa dibuatnya.

Karena keingintahuanku semakin memuncak, kuberanikan diri untuk bertanya pada pembina kamarku yang sudah lama sekali nyantri di pondok pesantren ini : Pondok Ppesantren Sabilurrosyad.

Namanya kang Ro’u. Ahmad Tajuddin Zahro’u.

Beliau menjelaskan, bahwa kolam yang aku maksud tadi namanya adalah ‘jeding kobok’.

Awalnya, aku manggut-manggut saja dijelaskan. Aku sendiri juga beberapa kali mendengar nama itu dari beberapa santri ketika ditanya, “Heh, waktunya bersih-bersih jeding kobok.”

Kang Ro’u melanjutkan ceritanya, bahwa selain sakral, ‘jeding kobok’ juga menjadi ciri khas pondok pesantren. Ada yang mengatakan jika ‘jeding kobok’ tersebut berawal dari para wali songo yang berdakwah di masyarakat, lantas beliau-beliau menjelaskan pada orang-orang tentang pentingnya menjaga kesucian ketika memasuki masjid, karena kebiasan orang-orang terdahulu adalah sering masuk-keluar rumah atau tempat lain tanpa menggunakan alas kaki. Dan untuk menyuruh mereka mencuci kaki mereka di kamar mandi, itu sangat sulit sebab mereka semua menganggap bahwa hal-hal semacam ini adalah hal yang remeh dan sepele. Tapi tidak bagi para wali songo. Karena ini akan berimbas pada ke-absah-an sholat seseorang.

Unik memang.

Dan untuk menjawab itu, para wali songo terpaksa membuatkan kolam kecil berukuran cukup besar yang “memaksa” setiap orang yang ingin memasuki masjid untuk menceburkan kedua kakinya sampai batas mata kaki ke dalam “jeding kobok”. Hingga pada akhirnya nanti, orang-orang yang memasuki masjid benar-benar dalam kondisi suci dan sholatnya bisa sah.

Aneh, sekali lagi. Tapi ini benar-benar gila. Aku benar-benar tidak percaya. Ini diluar jangkauan manusia biasa. Aku yakin, para wali songo pasti bukan orang sembarangan.

Gagasan yang dibuat oleh para wali songo seperti yang diceritakan oleh Kang Ro’u tadi benar-benar membuatku tercengang. Terlepas dari benar dan tidaknya cerita tersebut, yang jelas ada sangkut-pautnya antara “jeding kobok” dan pondok pesantren, di mana para wali songo sendiri juga termasuk dari founding father yang namanya “pondok pesantren” yang sudah tersebar di seluruh antero negeri.

Selesai bertanya terkait “jeding kobok”, aku menawari Kang Ro’u untuk makan bersama di warung. Membelikan beliau makan gratis atas ilmu yang sudah diberikan. Sederhana memang, tapi sangat bermakna bagi santri baru sepertiku.

Penulis: Elkaf

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *