Pernahkan Anda tahu, hikmah dibalik pensyariatan sujud dua kali di dalam sholat? Dari awal disyariatkannya sholat kepada Rasulullah saw. yang kemudian menjadi amaliah yang dilakukan oleh umatnya dalam menjalankan shalat sehari-hari yaitu bahwa umat Muslim ketika sujud, disyariatkan untuk melakukannya dua kali. Sedangkan ketika melakukan ruku’ hanya satu kali.
Hikmah ini, bermula ketika Allah memerintahkan Malaikat dan Iblis untuk sujud kepada Nabi Adam as. Di mana kisah tersebut sebagaimana yang diabadikan di dalam al-Qur’an:
وَلَقَدْ خَلَقْنٰكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنٰكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ لَمْ يَكُنْ مِّنَ السّٰجِدِيْنَ
“Dan sungguh, Kami telah menciptakan kamu, kemudian membentuk (tubuh)mu, kemudian Kami berfirman kepada para malaikat, “Bersujudlah kamu kepada Adam,” maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia (Iblis) tidak termasuk mereka yang bersujud.” (QS. Al-‘Araf: 11)
Ketika turun perintah tersebut, seketika para Malaikat sujud kepada nabi Adam As. Sedangkan iblis, justru membantah perintah tersebut dan berkomentar dengan merendahkan Nabi Adam as. dan mengunggulkan dirinya.
قَالَ ءَاَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِيْنًاۚ
Ia (Iblis) berkata, “Apakah aku harus bersujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?” (QS. Al-Isra’: 61)
Ketika malaikat dalam keadaan sujud kepada Nabi Adam, setelah itu mereka mengangkat kepalanya dan menemukan Iblis tidak mentaati perintah Allah swt. dengan tidak sujud kepada Nabi Adam. Saat itu, Malaikat tahu bahwa Allah murka kepada Iblis. Dan Allah kemudian merendahkan (melaknat) Iblis.
Seketika, Malaikat kemudian sujud kembali untuk yang kedua kalinya. Hal ini dilakukan oleh Malaikat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah, karena ia tidak dilaknat sebagaimana Iblis yang membangkang kepada perintah Allah.
Dari kisah ini, kemudian disyariatkanlah sujud dua kali di dalam sholat sebagaimana yang kita lakukan di dalam shalat.
*Disarikan dari kitab Al-Fawaidh al-Mukhtaroh li Saliki Thariq al-Akhirah, karya Habib Zain bin Ibrahim bin Smith.[1]
[1] Zain bin Smith, Al-Fawaidh al-Mukhtaroh li Saliki Thariq al-Akhirah (Hadramaut: Ma’had Dâr al-Lughah wa ad-Da’wah, 2018), 122.
Sumber: lirboyo.net