Di awal 2000-an, Candra Malik pernah bekerja selama 10 tahun di Jawa Pos. Jabatan terakhirnya adalah sebagai Kepala Liputan Jawa Pos Jakarta.
Salah satu pengalaman terbaiknya waktu itu adalah menjadi wartawan investigasi. “Kerjanya tidak boleh bawa alat. Hanya membawa ingatan,” kenang beliau.
Beliau membagikan pengalamannya sebagai jurnalis kepada para awak media pesantren se-Jawa Timur, Sabtu (23/12) kemarin.
Berikut beberapa kutipan dan intisari dialog beliau di acara talkshow “Taktik Ideal Pesantren Kuasai Dunia Digital”.
________
Dalam berkompetisi untuk memproduksi berita dan konten lainnya, musuh media cetak bukanlah sesama koran. Melainkan televisi.
Televisi, juga media online, bisa menyajikan informasi secara realtime. Di waktu itu juga. Sementara media cetak tidak. Sehingga, berita yang diproduksi oleh media cetak bisa saja menjadi cepat basi. Namun koran harus tetap cetak.
Salah satu efek negatif dari keadaan seperti ini adalah banyak kesalahan elementer yang dilakukan media online.
Kekuatan utama dari media online adalah mereka bisa seenaknya sendiri menyunting konten kapanpun. Itu sebabnya, bagi mereka, kecepatan nomor satu. Ketepatan nomor dua. Kecermatan nomor tiga.
Maka konten yang mereka produksi pun seringkali asal-asalan dan mementingkan judul yang cklickbait. Yang penting konten mereka segera dibaca dan mendapatkan engagement sebanyak-banyaknya.
Apakah sama orang-orang pesantren dengan mereka yang mengutamakan cklickbait itu?
Sayangnya, orang pesantren mulai melanggar etika jurnalistik ini. Mereka mulai meninggalkan ketepatan dan kecermatan.
Hanya adu kecepatan.
Kalau media kalian sering menyepelekan typo, kesalahan penulisan, kalian akan kehilangan trust. Kepercayaan. Orang-orang akan beranggapan, “Menulis nama saja salah apalagi menulis berita?”
Kesalahan elementer yang lain adalah ketidakmampuan wartawan online menuliskan lead yang benar di alinea pertama.
Seluruh unsur berita, 5W 1H, harus sudah tertuliskan di alinea pertama. Juga harus terdapat ‘pancingan’ bagi pembaca agar mau membaca konten seutuhnya.
Untuk memperbaiki kualitas tulisan, salah satu caranya adalah membaca tulisan yang sudah ditulis berulang-ulang.
Idealnya begini,
“Menulislah sebagai penyunting, menyuntinglah sebagai pembaca, membacalah sebagai penulis.”
Dalam menyajikan sebuah berita, tidak semua yang ada di lapangan harus ditulis. Kumpulkan informasi dan data sebanyak-banyaknya. Lalu saring sebagai hal yang solid untuk diberitakan.
Jika tidak memperbaiki kualitas tulisan kalian, apa jaminan tulisan kalian akan dibaca? Di wilayah kompetisi kalian, terdapat banyak penulis bagus. Tulisan yang bagus.
Kalau pengen konten yang kalian produksi hanya terkhusus pada keluarga pondok, alumni, santri, silakan. Silakan berpesta dalil. Tapi tentu kita ingin orang di luar pondok membaca konten kita.
Kalian boleh pintar, tapi gunakanlah bahasa kaum. Gunakan bahasa yang paling umum, sak umume umum, sehingga orang paling bodoh pun mampu mencerna. Dengan begitu, tulisan kalian akan tersampaikan dengan baik kepada siapapun. Kepada golongan yang paling lemah pengetahuannya sekalipun.
Kini kita telah memasuki babak virtual. Babak digital. Internet sudah masuk ke wilayah paling privat kita.
Persoalan semua orang kini: dunia digital adalah sebuah bentuk penjajahan baru kepada kita, bahkan anak-anak bangsa.
Kita semua berhadapan dengan melimpahnya informasi, bahkan sampah informasi. Maka kalian jangan kalah berperang dengan pemasok hal-hal buruk.
Dalam berdakwah, ingatlah lirik yang dinyanyikan Ari Lasso, “Sentuhlah dia tepat di hatinya.”
Kalau kita berdakwah head to head, kita akan adu kepala saja. Tapi kalau heart to heart, itu adu melembutkan hati.
Pendekatan heart to heart itulah yang lebih sering berhasil di masyarakat.
_____
Talkshow di Pondok Pesantren Al-Fattah Kikil Pacitan siang itu diakhiri oleh beliau dengan sebuah larik puisi:
Kita dilahirkan untuk sebuah tujuan.
Dan sama-sama menuju di halte kerinduan.
Jika kini kita berjumpa
Aku curiga, jangan-jangan inilah cinta.